Opini: Indeks Pembangunan Gender Meningkat, Perempuan Masih dalam Penderitaan

  • Bagikan

Penulis: Hadira (Praktisi Pendidikan)

Indeks Pembangunan Gender (IPG) adalah indikator yang menggambarkan perbandingan (rasio) capaian antara IPM (Indeks Pembangunan Manusia) perempuan dengan IPM laki-laki. Hal ini dapat menggambarkan berdaya tidaknya perempuan dalam suatu negara. Di Indonesia sendiri berdasarkan pernyataan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) bahwa selama tahun 2023, perempuan semakin berdaya yang ditunjukkan dengan meningkatnya Indeks Pembangunan Gender.

“Perempuan semakin berdaya, mampu memberikan sumbangan pendapatan signifikan bagi keluarga, menduduki posisi strategis di tempat kerja, dan terlibat dalam politik pembangunan dengan meningkatnya keterwakilan perempuan di lembaga legislatif. Ini ditunjukkan dengan meningkatnya Indeks Pemberdayaan Gender,” kata Deputi Bidang Kesetaraan Gender KemenPPPA Lenny N Rosalin dalam keterangan di Jakarta, Sabtu (6/1/2024).

Lenny N Rosalin mengatakan perempuan berdaya akan menjadi landasan yang kuat dalam pembangunan bangsa. Keterwakilan perempuan dalam lini-lini penting dan sektoral juga ikut mendorong kesetaraan gender di Indonesia yang semakin setara. Menyongsong tahun 2024, komitmen KemenPPPA untuk pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak akan terus ditingkatkan. REPUBLIKA.CO.ID

Saat ini arus kesetaraan gender dengan berbagai kebijakannya dipandang sebagai solusi atas permasalahan perempuan, namun disaat yang sama perempuan semakin banyak mendapatkan masalah dan penderitaan dalam hidupnya. Seperti tingginya angka perceraian, KDRT, kekerasan seksual dan lainnya. Belum lagi persoalan generasi yang makin amoral, liberal dan keji.
Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang 2022 ada 516.334 kasus perceraian di Indonesia yang telah diputus oleh pengadilan.

Sebanyak 75,21% atau 388.358 kasus perceraian yang dicatat BPS merupakan cerai gugat, yakni perkara perceraian yang diajukan oleh istri atau kuasanya yang sah. Adapun menurut Kepala Subdirektorat Bina Keluarga Sakinah Kementerian Agama (Kemenag) Agus Suryo Suripto, banyak kasus perceraian yang diajukan perempuan mapan.

“Dari 93% perempuan yang mengajukan gugat cerai itu, 73% adalah perempuan-perempuan yang mapan secara ekonomi,” kata Agus, dilansir dari Liputan6.com, Jumat (6/10/2023).
Adapun Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengungkap ada peningkatan jumlah kekerasan terhadap perempuan dan anak sepanjang 2023 dengan jumlah total 21.768 kasus. Sedangkan kasus KDRT terdapat 5.555 laporan. Jumlah laporan itu juga tercatat meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya mencapai 2.241 kasus. Terakhir, Polri juga mencatat terdapat peningkatan kasus Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dari 137 kasus menjadi 643 kasus. Jakarta, CNN Indonesia.

Baca juga  Tes Covid : Menanti Tanggung Jawab Penuh Negara

Hal ini membuktikan bahwa kenaikan IPG tidak berkorelasi positif dalam menyelesaikan masalah yang dialami perempuan. Tolak ukur keberhasilan pemberdayaan perempuan sering dikaitkan dengan keterlibatan perempuan dalam ruang politik, seperti menjadi anggota legislatif dan eksekutif, maupun ruang publik, seperti bekerja dan menjadi pemimpin lembaga/organisasi. Maka bisa disimpulkan bahwa pemberdayaan perempuan dalam kacamata sistem kehidupan saat ini (Sekuler Kapitalisme) yaitu perempuan yang bekerja, mandiri, memiliki karier dalam banyak bidang, dan memberi sumbangsih bagi pembangunan dengan menjadi pelaku ekonomi.

Sistem sekuler kapitalisme senantiasa menggaungkan ide kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan yang katanya mampu menyelamatkan perempuan dari diskriminasi dan penindasan, namun nyatanya malah menjadi bumerang bagi perempuan sendiri. Sebagai contoh banyaknya perceraian yang tentunya akan berpengaruh banyak pada kehidupan perempuan.

Mereka menjadi ibu tunggal yang harus menghidupi, mendidik dan mendampingi anak-anaknya yang mungkin menghadapi masalah psikologis akibat perceraian orang tuanya. Nah apakah hal ini dapat terselesaikan melalui pemberdayaan dengan bekerjanya perempuan? Justru bekerjanya perempuan di tengah kemelut rumah tangga yang berantakan akan memicu masalah baru lainnya, seperti stres karena beban yang dipikul, anak yang tidak terurus dengan baik, emosi labil, depresi, hingga bunuh diri.

Selain itu, kasus KDRT yang terkadang berakhir dengan pembunuhan. Kebanyakan yang menjadi korban adalah istri, entah karena alasan ekonomi, cemburu, sakit hati, dan emosi yang tidak terkendali. Kehidupan sekuler (memisahkan agama dari kehidupan) menjadikan seseorang tidak kuat iman, kontrol diri lemah dan gelap mata, sehingga nyawa seakan tak berharga.
Sistem sekuler kapitalisme tidak menjamin keamanan perempuan. Maraknya kejahatan seksual akibat bertebarannya tontonan yang tidak mendidik serta mengandung konten porno. Gaya hidup serba bebas menjadi suatu hal yang biasa, seperti budaya pacaran, berzina, aborsi, dan dampak pergaulan bebas lainnya yang merusak perempuan dan generasi.

Kapitalisme memandang perempuan sebagai kelompok marginal yang perlu disetarakan. Alhasil, berbagai tuntutan perempuan agar setara dengan laki-laki terus dikampanyekan. Banyak perempuan yang akhirnya berani tampil dengan berkarier di ranah publik, mereka berusaha menjadi mandiri dalam segala hal termasuk mandiri secara ekonomi. Hal ini membuat peran perempuan lebih superior dalam rumah tangga. Merasa bisa mencari nafkah, peran suami sebagai kepala keluarga makin mengerdil seiring lapangan kerja yang kian menyempit untuk laki-laki. Hal ini menimbulkan masalah baru dimana gugat cerai semakin meningkat dan ketahanan keluarga di ambang sekarat.

Baca juga  Visi Indonesia Dalam Cengkeraman Imperialisme

Sedangkan Islam memandang perempuan sebagai sosok yang wajib dimuliakan dan dihormati. Perempuan bukanlah warga kelas dua yang terdiskriminasi. Pemberdayaan perempuan tidak dilihat dengan pandangan materi dan ekonomi. Perempuan berdaya dalam perspektif Islam adalah ketika perempuan mampu menjalankan semua kewajiban yang Allah tetapkan baginya, baik terkait peran utamanya di ranah domestik sebagai ummu wa rabbatul bayt (ibu pengatur rumah suaminya), sebagai ummu ajyal (pendidik generasi), maupun peran lainnya di ranah publik. Tentu saja karena peran domestik adalah peran utama perempuan, peran inilah yang harus didahulukan.

Sungguh, Islam telah menempatkan perempuan dalam kemuliaan dan keutamaan. Islam telah menjadikan perempuan setara dengan laki-laki (lihat QS Al-Ahzab: 35), seperti menuntut ilmu, terlebih ilmu agama, melakukan amar makruf nahi mungkar, dan menyampaikan Islam pada umat. Walaupun memang akan terdapat beberapa perbedaan yang berkaitan dengan fitrah mereka sebagai perempuan dan laki-laki. Oleh karenanya, kaum perempuan tidak perlu berusaha mencari kesetaraan dengan laki-laki.

Islam juga menetapkan bahwa perempuan bisa berkontribusi terhadap kemajuan negara dengan ikut serta dalam berbagai aktivitas di ranah publik, seperti bekerja menjadi guru, dosen, tenaga ahli pertanian, bekerja di lembaga-lembaga pemerintahan, dan lainnya. Hanya saja, semua itu harus dalam batas aturan Islam, seperti tidak boleh mengabaikan peran utamanya sebagai ibu pendidik generasi, melakukan pekerjaan yang tidak mengeksploitasi kecantikan, menjalankan aturan ijtima’iy (pergaulan) dalam pekerjaannya, dan sebagainya.

Islam memiliki berbagai mekanisme agar perempuan sejahtera dan tetap terjaga fitrahnya, di antaranya sebagai berikut. Pertama, Islam memandang perempuan dengan tepat dan menempatkannya pada posisi mulia, yakni sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Posisi ini sangat strategis sebab masa depan generasi dan sebuah bangsa sangat ditentukan oleh posisi ini. Proses pendidikan pada anak yang dilakukan oleh kaum ibu menjadi kunci utama tingginya peradaban sebuah bangsa. Adapun kewajiban mencari nafkah, hanya dibebankan pada kaum laki-laki. Bukan untuk menunjukkan kekuatan laki-laki dan kelemahan perempuan. Peran ini diberikan sesuai dengan kemampuan fisik dan tanggung jawab yang diberikan Allah Swt. pada laki-laki.

Baca juga  Kampanye Liberal di Balik Serangan Terhadap Pembiasaan Hijab

Kedua, negara menjamin kebutuhan pokok setiap individu dengan kemudahan mendapatkannya, seperti layanan pendidikan dan kesehatan secara gratis. Adapun dalam memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan, negara memberikan kemudahan bagi para pencari nafkah (laki-laki) dengan menyediakan lapangan kerja, memberi bantuan modal usaha, dan membekali dengan keterampilan yang membantu mereka melakukan pekerjaan. Hal ini ditetapkan agar kewajiban mencari nafkah bagi laki-laki dapat tertunaikan.

Ketiga, dalam peran publik, perempuan boleh menjadi dokter, perawat, guru, dan lainnya dengan tetap mengutamakan peran domestiknya sebagai ibu. Laki-laki maupun perempuan memiliki hak dan kedudukan yang sama dalam mengenyam pendidikan, menuntut ilmu, mengajarkan ilmu, dan berdakwah. Adapun jika terdapat ketentuan hukum yang berkaitan dengan predikatnya sebagai laki-laki dan perempuan, hal itu tidak bermakna tidak setara. Allah Swt. memberikan diferensiasi atas peran laki-laki dan perempuan dalam kehidupan pernikahan dan bermasyarakat tidak didasarkan pada pengertian hierarki gender, tetapi pada apa yang diperlukan secara efektif untuk mengatur kehidupan keluarga dan masyarakat secara proporsional dan berkeadilan. Alhasil, tercipta kehidupan yang harmoni dan sinergi.

Keempat, negara melaksanakan sistem pendidikan dan sosial masyarakat yang berbasis akidah Islam. Dengan penerapan kurikulum pendidikan berbasis akidah Islam akan terwujud generasi berkepribadian Islam yang tidak mudah terseret pada kemaksiatan. Begitu pun dengan sistem sosial masyarakat yang berdasarkan syariat Islam mampu membentuk ketakwaan komunal sehingga mencegah individu berbuat maksiat atau kriminal.

Kelima, negara memberlakukan sistem sanksi Islam yang berefek jera. Maraknya kriminalitas akibat sanksi yang tidak tegas. Dengan sanksi Islam akan mencegah individu bertindak kriminal. Jika terjadi pelanggaran, sanksi Islam akan membuat pelakunya tidak mengulangi perbuatannya kembali.

Demikianlah, sistem Islam mampu memberi jaminan kesejahteraan dan keamanan bagi perempuan dan generasi. Menerapkan Islam kaffah dalam kehidupan negara akan menciptakan iklim kondusif bagi kiprah perempuan di berbagai bidang kehidupan. WalLahu a’lam bishshawab.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *