Ritel Gulung Tikar Akibat Salah Tata Kelola Ekonomi Negeri

  • Bagikan

Oleh: Djumriah Lina Johan
(Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban)

PT Hero Supermarket Tbk. (HERO Group) memutuskan untuk menutup seluruh gerai Giant pada akhir Juli 2021. Pihaknya mengumumkan bahwa, menindaklanjuti strategis atas seluruh lini bisnisnya, perusahaan akan memfokuskan bisnisnya ke merek dagang IKEA, Guardian, dan Hero Supermarket yang memiliki potensi pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan Giant.

“Seperti bisnis mumpuni lainnya, kami terus beradaptasi terhadap dinamika pasar dan tren pelanggan yang terus berubah, termasuk menurunnya popularitas format hypermarket dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia; sebuah tren yang juga terlihat di pasar global. Kami tetap meyakini bahwa sektor peralatan rumah tangga, kesehatan dan kecantikan, serta keperluan sehari-hari untuk kelas atas memiliki potensi pertumbuhan yang tinggi,” ujar Presiden Direktur PT Hero Supermarket Tbk Patrik Lindvall dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (25/5/2021).

Langkah Hero Group sejatinya mengikuti peritel besar lainnya yang sudah terlebih dahulu menutup sebagian atau semua gerainya akibat terimbas pandemi. Misalnya, PT Matahari Department Store yang menutup 25 gerai pada 2020 dan berencana kembali menutup 13 gerai tahun ini. Ada pula gerai ritel fashion Centro Department Store dan PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk. 

Menanggapi penutupan gerai ritel di atas, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey mengatakan dampak dari penutupan gerai ritel modern bisa menghilangkan pendapatan negara sebab pengurangan gerai. Selain itu, retribusi pendapatan daerah juga akan hilang. (Liputan6.com, 25/5/2021)

Baca juga  Tes Covid : Menanti Tanggung Jawab Penuh Negara

Diwartakan di media yang sama, Roy juga menyebut beberapa hal yang menyebabkan gerai ritel modern tutup di masa pandemi covid-19, salah satunya disebabkan tingkat konsumsi di daerah tersebut rendah.

“Aprindo menyatakan prihatin dan berduka terhadap anggota Aprindo (Hero Supermarket) yang harus menutup gerai Giant-nya, karena kondisi terdampak pandemi covid-19 juga penyebab mobilitas berkurang, seperti adanya PSBB dan PPKM dan rendahnya daya beli,” kata Roy .

Aprindo mencatat, selama pandemi, terdapat lebih dari 400 minimarket yang gulung tikar. Sementara untuk supermarket, selama Maret-Desember 2020, rata-rata ada 5-6 gerai yang terpaksa tutup setiap hari. Per Januari-Maret 2021 ini, rata-rata ada 1-2 toko yang tutup dalam sehari.  (Kompas.id, 28/5/2021)

Menurunnya daya beli masyarakat sebenarnya sudah dirasakan di negeri ini sejak beberapa tahun belakangan. Hal ini bermuara pada tata kelola ekonomi negeri.

Saat aset dan kekayaan negeri ini banyak dikuasai asing, otomatis sumber pendapatan negara berkurang. Sehingga pembangunan dan pelayanan bersumber dari utang dan investasi. Berubahlah infrastruktur dan pelayanan menjadi barang komersil. Pendidikan, kesehatan, transportasi, jalan, semua menjadi barang komersil yang mahal. Akibatnya masyarakat tidak mampu berbelanja karena harus memenuhi kebutuhan jasa seperti kesehatan dan pendidikan. Biaya Transportasi pun kian mahal sehingga barang-barang kebutuhan pun meningkat harganya. Sedangkan tingkat pendapatan masyarakat tetap. Otomatis masyarakat mengerem belanja alias berhemat.

Baca juga  Pengamat Politik Hendri SatrioDorong Teguh Santosa Jadi Senator

Di sisi lain, kebijakan impor membuat produksi, industri, pertanian dan manufaktur, menjadi mandeg. Banyak hasil pertanian dan industri negeri ini yang digebuk impor. Harga gula, garam, sawit dan barang ritel produksi dalam negeri terjun bebas, menyebabkan pendapatan masyarakat anjlok. Lantas masyarakat mau belanja dengan apa?

Tentu saja hal ini langsung berdampak pada rontoknya bisnis termasuk ritel. Akibatnya, menambah banyak pengangguran dan meningkatkan angka kemiskinan.

Untuk mengakhirinya, negeri ini perlu sebuah revolusi kebijakan yang mengembalikan harta rakyat. Dan memberikan kesempatan pada rakyat untuk sejahtera. 

Selain itu, menciptakan sistem tata niaga yang adil dengan memberikan kesempatan pada semua orang untuk turut serta dalam bisnis. Tanpa monopoli atau kartel, tanpa pajak, dan tanpa intervensi asing. Hal ini mutlak harus dilakukan.

Bayangkan jika rakyat negeri ini mudah dalam membangun industri, mudah melakukan bisnis, bebas dari pajak yang mencekik, bebas dari intervensi bisnis asing dan gempuran impor, bukankah pengangguran bisa diatasi? Pendapatan masyarakat bisa meningkat.

Kesejahteraan bisa didapat. Daya beli masyarakat tetap tinggi. Dan roda ekonomi pun akan terus berputar.
Bercermin pada penerapan sistem ekonomi Islam pada masa Nabi Saw. Setelah hijrah Rasul Saw ke Madinah, selain mendirikan masjid sebagai pusat ibadah dan pusat pemerintahan, Rasul Saw pun mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar. Padahal saat itu, kaum Anshar, penduduk asli Madinah, merupakan golongan ekonomi menengah ke atas. Sedangkan kaum Muhajirin rata-rata miskin di negeri Madinah, karena mereka berhijrah ke Madinah tanpa membawa harta yang cukup.

Baca juga  PAJAK DEMI KESEHATAN RAKYAT??

Dari persaudaraan ini, kaum Muhajirin mendapatkan akses harta dengan menjadi petani, dan pedagang. Beberapa sahabat Rasul Saw seperti Abdurrahman bin Auf, memilih berdagang. Perdagangan di pasar Madinah ramai oleh masyarakat tanpa ada monopoli.

Rasul Saw juga pernah memberikan harta ghanimah pada kaum Muhajirin ditambah dua orang Anshar yang dhuafa, untuk mencegah kesenjangan ekonomi. Sehingga antara kaum Anshar dan Muhajirin sebagai penduduk masyoritas Madinah, terdapat keselarasan pendapatan (walaupun tidak sama rata). Menciptakan keselarasan ekonomi dengan memberikan bantuan ekonomi pada masyarakat sehingga daya beli masyarakat tetap terjaga. Membuat sektor ekonomi riil terus hidup. Inilah yang membuat stabilitas ekonomi dalam negeri. Bahkan seiring dengan waktu, kesejahteraan bisa dinikmati oleh masyarakat. Wallahu a’lam.

  • Bagikan