Perkembangan kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) tidak lagi hanya sebatas konsep masa depan, tetapi telah menjadi kenyataan yang mengubah cara kerja di berbagai sektor. Dari ruang rapat perusahaan di Eropa hingga ruang kelas di Alaska, adopsi AI menuntut adanya strategi pendidikan dan penyesuaian yang matang agar potensinya dapat dimanfaatkan secara maksimal dan bertanggung jawab.
Pertumbuhan Adopsi AI di Kalangan Bisnis Eropa
Bukan rahasia lagi bahwa AI sedang mengalami akselerasi di dunia bisnis. Riset terbaru dari Harvard Business Review menunjukkan bahwa para wirausahawan paling ambisius saat ini menempatkan penekanan signifikan pada pemanfaatan AI. Tren ini sangat terasa di Eropa, di mana jumlah pemimpin bisnis yang mengintegrasikan perangkat AI dalam operasional mereka tumbuh sebesar 5,5 poin persentase antara tahun 2023 dan 2024. Lebih lanjut, riset lain mengungkapkan bahwa lebih dari 60% perusahaan di Eropa kini telah membentuk tim khusus yang didedikasikan untuk AI.
Pertanyaannya bukan lagi jika, tetapi kapan AI akan terintegrasi sepenuhnya ke dalam proses bisnis sebuah organisasi, terlepas dari skalanya. Untuk itu, para pengusaha harus memiliki rencana aksi yang tepat untuk mempersiapkan tim mereka. Tanpa kesiapan ini, mereka berisiko tertinggal dari para pesaing.
Strategi Efektif Menyiapkan Tim untuk Era AI
Untuk menghadapi transisi ini, ada beberapa taktik yang dapat diterapkan guna mempersiapkan tim, mengurangi kecemasan, dan memaksimalkan hasil positif.
Pertama, terapkan aturan 80/20 untuk peningkatan keterampilan AI. Penting untuk diingat bahwa tidak semua karyawan perlu menjadi ahli teknologi atau ilmuwan data. Fokus utama adalah meningkatkan keterampilan dasar dalam menggunakan AI. Aturan 80/20—di mana 80% nilai berasal dari 20% usaha—sangat relevan di sini. Sebagian besar penggunaan AI diterapkan pada alur kerja yang bersifat repetitif dan berisiko rendah, seperti menganalisis dan merangkum data, memberikan rekomendasi produk yang dipersonalisasi, atau memprediksi kebutuhan proyek. Oleh karena itu, area keterampilan inti yang perlu diasah adalah cara membuat prompt yang efektif, menganalisis output AI secara kritis, serta memahami batasan dan risikonya.
Kedua, jembatani kesenjangan antara teori dan praktik. Pelatihan AI tidak seharusnya menjadi acara satu kali, melainkan proses berkelanjutan seiring dengan perkembangan teknologinya. Pelatihan yang terlalu berat pada teori sering kali kurang efektif. Sebaliknya, lokakarya praktis terbukti jauh lebih berhasil dalam membangun kepercayaan diri. Mengingat 42% karyawan di Eropa memandang AI sebagai ancaman bagi pekerjaan mereka, pendekatan langsung (hands-on) adalah solusi terbaik untuk mengatasi kecemasan tersebut. Mengembangkan “duta AI” atau karyawan yang lebih cepat beradaptasi sebagai mentor bagi rekan-rekannya juga dapat mempercepat proses adopsi di seluruh tim.
Ketiga, ukur metrik yang paling penting. Keberhasilan pelatihan AI harus dapat diukur. Perusahaan perlu menetapkan Key Performance Indicators (KPI) yang jelas, misalnya pengurangan waktu penyelesaian proyek atau percepatan proses persetujuan. Di Eropa, di mana kesadaran terhadap isu iklim sangat tinggi, KPI tambahan dapat mencakup pemanfaatan AI untuk menemukan opsi yang lebih hemat energi dalam proses produksi, serta memahami dampak lingkungan dari penggunaan AI itu sendiri.
Sistem Pendidikan Formal Mulai Bergerak: Kerangka Kerja AI di Alaska
Tren kesiapan AI tidak hanya terbatas pada dunia korporat. Sektor pendidikan pun bergerak cepat untuk beradaptasi. Departemen Pendidikan Alaska baru-baru ini merilis kerangka kerja perdana untuk pemanfaatan AI di tingkat pendidikan dasar dan menengah (K-12), menjadikannya negara bagian ke-32 di Amerika Serikat yang menetapkan panduan resmi mengenai AI.
Dokumen berjudul Artificial Intelligence for K-12: Recommendations and Considerations for Districts ini menetapkan prinsip dan sumber daya untuk mendukung penggunaan AI yang bertanggung jawab, adil, dan aman di seluruh distrik sekolah Alaska. Panduan ini bertujuan membantu distrik sekolah menerapkan perangkat AI secara etis, mendukung literasi digital, melindungi data siswa, serta mempromosikan inklusivitas dan kepekaan budaya.
Fokus pada Etika, Literasi, dan Pengawasan Manusia
Kerangka kerja Alaska berpusat pada tujuh prinsip panduan: desain yang berpusat pada manusia, akses yang adil, transparansi, pengawasan, keamanan, penggunaan etis, dan responsif secara budaya. Panduan tersebut menekankan bahwa AI harus berfungsi untuk “melengkapi kemampuan manusia, pemikiran kritis, dan kreativitas, bukan menggantikan interaksi atau pengambilan keputusan esensial oleh manusia.”
Setiap distrik didorong untuk menerapkan program literasi AI bagi staf dan siswa, yang mencakup cara mengenali konten buatan AI, memahami privasi data, serta mengidentifikasi bias atau misinformasi. Selain itu, ditekankan pula bahwa teknologi harus menegaskan, bukan mengurangi, keragaman budaya di Alaska. Oleh karena itu, dalam penyusunan kebijakan, distrik dianjurkan untuk melibatkan pendidik lokal, tokoh adat, dan anggota komunitas.
Apresiasi Global untuk Inovasi Teknologi Pendidikan
Untuk mendorong lebih jauh kemajuan dalam integrasi teknologi di sektor pendidikan, berbagai inisiatif global pun diselenggarakan. Salah satunya adalah The EdTech Innovation Hub (ETIH) Innovation Awards 2026, yang kini telah membuka pendaftaran.
Penghargaan ini bertujuan untuk merayakan keunggulan dalam teknologi pendidikan global, dengan fokus khusus pada pengembangan tenaga kerja, integrasi AI, dan solusi pembelajaran inovatif di semua jenjang pendidikan. Organisasi dari Inggris, Amerika, dan seluruh dunia diundang untuk mengirimkan karya mereka yang menunjukkan dampak terukur, baik di ruang kelas K-12, institusi pendidikan tinggi, maupun dalam konteks pembelajaran seumur hidup.
Para pemenang akan diumumkan pada 14 Januari 2026 dalam sebuah acara daring. Semua pemenang dan finalis juga akan ditampilkan dalam majalah cetak perdana ETIH yang akan didistribusikan pada acara BETT 2026, sebuah pameran teknologi pendidikan terkemuka.
More Stories