Sertifikasi wawasan Kebangsaan Da’i: Ajang Bungkam Sikap Kritis?

  • Bagikan

Oleh: Ummu Aulia

Setelah polemik tes wawasan kebangsaan KPK yang menghebohkan publik, kini Kementerian Agama (Kemenag) seakan latah dengan hal yang sama. Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, mewacanakan sertifikasi wawasan kebangsaan untuk penceramah agama.

Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas memberikan sertifikasi moderasi beragama dan wawasan kebangsaan kepada para da’i atau penceramah. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kompetensi para penceramah.

“Tujuannya adalah bagaimana para penceramah ini memiliki pemahaman tentang moderasi beragama dan di saat yang sama memiliki pemahaman wawasan kebangsaan yang kuat,” terangnya, Rabu, 2/6/2021 (JawaPos.com)

Wacana Kementrian Agama terkait wawasan kebangsaan bagi para DA’I atau Penceramah inipun menuai respon berbagai pihak. Sebagaimana Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof Dadang Kahmad, beliau mempertanyakan siapa target dari sertifikasi ini dan apa manfaat yang diterima oleh penceramah dan dai yang disertifikasi. “Kalau sertifikasi ini untuk para aparatur sipil negara (ASN), bolehlah. Tapi, kalau untuk yang lain, seperti penceramah dari ormas atau freelance, apa jangkauannya? Itu tidak ada hubungan kerja dengan Kemenag,” ujarnya saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (2/6).

Tidak hanya ketua Pimpinan Muhammadiyah, akan tetapi Ketua Umum Ikatan Dai Seluruh Indonesia (Ikadi) KH Ahmad Satori juga ikutan angkat bicara. Beliau mengingatkan bahwa jangan sampai ada syahwat-syahwat dari golongan tertentu dalam sertifikasi da’i berwawasan kebangsaan ini.

Baca juga  Seandainya Oh Seandainya…

Ajang Bungkam Sikap Kritis ?

Penguatan wawasan kebangsaan dinilai sebagai rumus manjur untuk mencapai tujuan moderasi beragama, yakni menampilkan Islam yang ramah, toleran, dan tidak kaku. Tentu saja lawan dari istilah moderasi itu adalah Islam yang dianggap tidak ramah, intoleran, provokatif, dan terbuka dengan nilai serta pemikiran barat. Diharapkan dengan sertifikasi tersebut, penceramah lebih moderat dan tidak terlalu kaku dalam menyampaikan dakwah. Yaitu dengan pendekatan kultural dan budaya setempat.

Kita bisa melihat bahwa sudah beberapa kali program sertifikadi da’i menjadi perbincangan dari Kemenag era Lukman Hakim, MUI, Kemenag era Fachrul Razi, hingga era Yaqut.

Seakan negeri ini bermasalah hanya pada satu problem semata, yaitu radikalisme. Seperti diketahui, program moderasi agama digaungkan sebagai upaya deradikalisasi. Turunan program ini adalah sertifikasi dai dan berlanjut menjadi sertifikasi wawasan kebangsaan.

Berkaca dari Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) KPK, jangan sampai sertifikasi semacam ini menjadi program “pesanan” yang dibuat untuk mengkotak-kotakkan kriteria penceramah; memberi label penceramah yang tidak dapat sertifikat dengan narasi radikal, narasi yang telah berhasil membuat umat makin jauh dari ajaran Islam yang lurus.

Baca juga  Derita Muslim Rohingya Tak Kunjung Usai, Umat butuh Perisai

Sertifikasi wawasan kebangsaan bukanlah standar untuk mengukur kompeten tidaknya para dai. Tapi, kompetensi itu dinilai berdasarkan keilmuan yang dimiliki, konsistensinya memegang kebenaran, dan ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dakwah mestinya disampaikan sesuai tuntunan Al-Qur’an dan Sunah. Bukan berdasarkan pada pertimbangan dan penilaian manusia.

Patut diduga bahwa program ini dibuat untuk memberi label penceramah dengan kategori moderat atau radikal. Dengan harapan, umat akan semakin merasa “ngeri” jika mendengar kata “penceramah radikal”. Sebuah stereotip yang sengaja dihembuskan Barat agar umat kian sekular dan liberal.

Berdakwah Tidak Butuh Sertifikat

Islam tidak hanya berupa akidah. Akan tetapi Islam adalah sebuah agama yang darinya lahir berbagai aturan dan solusi bagi setiap persoalan manusia. Aturan berupa perintah dan larangan yang lahir dari akidah Islam tidak hanya berupa aturan dalam hal ibadah saja. Akan tetapi mencakup seluruh aspek kehidupan. Termasuk di dalamnya aktivitas dakwah merupakan kewajiban bagi setiap individu muslim.

Sejatinya, dakwah amar makruf nahi mungkar tidak membutuhkan sertifikasi, tapi konsistensi dan realisasi. Kewajiban menyampaikan kebenaran sudah dinyatakan Rasulullah Saw. dalam sabdanya:

“Siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan lisannya, dan jika tidak mampu maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya iman.” (HR Muslim, Abu Daud, dan Tirmidzi)

Baca juga  Revisi UU ITE, Untuk Kepentingan Siapa?

Tidak sepatutnya Kemenag bersibuk diri dengan pesan moderasi dan sertifikasi. Seharusnya memenag membuat program membina umat ini dengan pemahaman Islam yang lurus dan benar. Agar generasi tidak terjerumus pada pemikiran asing yang merusak seperti sekularisme, liberalisme, pluralisme, feminisme, pergaulan bebas; serta kemaksiatan lainnya.

Mestinya, potensi para da’i dikerahkan untuk menyiarkan Islam sebagai jalan hidup yang wajib diambil sebagai hamba Allah Swt. dan berislam secara kaffah, sebagaimana dalam firman-Nya:

“Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.” (TQS Al Baqarah: 208)

Maka, sudah sepatutnya mengambil Islam secara sempurna tanpa perlu memilih dan memilahnya. Pun halnya dalam berdakwah sudah sepatutnya kita mendakwahkan Islam secara kaffah tanpa perlu memilih mana yang harus disampaikan dan mana yang tidak boleh disampaikan. Dalam Islam dakwah adalah kewajiban bukan sebuah profesi yang butuh sertifikasi. Wallahu A’lam.

  • Bagikan