Opini: Honorer yang Selalu Tersisih

  • Bagikan

Oleh : Munawarah Saleh
(Praktisi pendidikan)

Tahun 2022 disambut dengan semangat baru, harapan baru, serta sejuta rencana yang diharapkan dapat mengubah kehidupan kearah yang lebih baik. Namun tidak demikian bagi tenaga honorer yang ada di seluruh Indonesia demikian pula di Sulawesi Barat khususnya. Kebijakan pemerintah pusat tentang   penghapusan tenaga Honorer di Tahun 2023  rupanya menjandi ancaman terhadap nasib 3.500 Tenaga honorer di lingkup pemerintah provinsi Sulbar.

Kepala Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Sulbar H.Zulkifli Manggazali menjelaskan jika kebijakan itu dilakukan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (Manajemen PPPK). Hal tersebut di sampaikan Kepala Badan Kepegawaian Provinsi Sulbar H.Zulkifli Manggazali saat di ruang kerjanya. Senin, 17 Januari 2022. Menurut Zulkifli, dengan adanya regulasi itu maka dengan sendirinya 3.500 Honorer di lingkup Pemprov akan hilang.

Hal tersebut di atas senada dengan apa yang pernah disampaikan oleh DPR pusat bahwa DPR dan pemerintah sepakat akan menghapus tenaga honorer di lingkungan instansi pemerintah. Salah satu tenaga honorer yang selama ini menjadi sorotan adalah guru honorer.

Ketua Umum PGRI Unifah Rosyidi mengatakan jika tenaga honorer dihapus, maka kegiatan belajar dan mengajar di sekolah akan berhenti. Sebab masih banyak sekolah yang bergantung pada guru honorer. (Kumparan, 22/1/2020). Rupanya perjuangan para pahlawan tanpa tanda jasa khususnya para guru honorer belum berakhir. Setelah banting tulang mengajar dengan gaji minim dan seringkali tertunda pembayarannya berbulan-bulan, kini nasib mereka seolah di ujung tanduk.

Baca juga  Sistem Zonasi PPDB, Efektifkah?

Pemerintah berniat menghapus status guru honorer. Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI bersama Kementerian PAN-RB dan BKN sepakat untuk menghapus tenaga honorer, pegawai tetap, pegawai tidak tetap, dan lainnya dari organisasi kepegawaian pemerintah.
Nantinya, pegawai di instansi pemerintah hanya akan berstatus ASN dan PPPK. Artinya, semua guru honorer harus mengikuti tes seleksi untuk menjadi ASN atau Pegawai Pemerintan dengan Perjanjian Kerja (PPPK). (Detik.com).

Lalu bagaimana nasib mereka yang tidak lolos seleksi ASN dan PPPK? Hal inilah yang menjadi keresahan di kalangan guru honorer. Jumlah guru honorer yang begitu banyak, sementara kuota untuk ASN dan PPPK selama ini sangat terbatas.

Kenyataannya, jumlah guru honorer yang cukup besar ini sudah sangat membantu bagi kebutuhan guru di negeri ini. Hal ini sebagaimana diungkap oleh Ketua Umum PGRI Unifah Rosyidi, “Honorer itu sangat membantu, sangat. Kalau mau jujur, ambil data Dikbud, 48 persen guru negeri, itu tahun lalu. Dengan posisi pensiunan 50.000 sampai 70.000 setahun bisa dibayangkan. Belum lagi banyak guru untuk jabatan tertentu di daerah. Itu makin mengurangi. Harus ada solusi,“ pungkas Unifah (Kumparan, 22/1/2020).

Jika memang tenaga guru honorer tidak dibutuhkan, lalu mengapa tidak dibuat regulasi yang memperkuat bahwa tidak ada lagi penerimaan tenaga honorer, mengapa mereka dibiarkan bekerja pada instansi-instansi/sekolah-sekolah yang ada, dan mereka diberi beban kerja sama dengan para ASN dengan honor yang sangat minim.

Baca juga  Perpres Bonus Fantastis untuk Wamen

Pemerintah seharusnya sangat mengerti keberadaan guru honorer yang jumlahnya cukup besar dan merata di seluruh wilayah Indonesia ini, menunjukkan kekurangan tenaga pendidik yang berstatus ASN.
Padahal yang namanya pendidikan sangat ditentukan oleh tenaga pengajarnya, baik jumlah mau pun kualitasnya. Namun dari tahun ke tahun, jumlah guru honorer selalu meningkat, kisah penderitaannya pun tidak pernah sepi dalam pemberitaan media.
Paradigma sistem pendidikan di negeri ini patut dipertanyakan. Apakah pendidikan menjadi hal yang dianggap penting dan krusial? Jika iya, mengapa justru faktor penunjang pendidikan, yaitu ketersediaan tenaga pendidik yang handal selalu menjadi masalah yang berkepanjangan?

Lalu bagaimana Islam menyelesaikan persoalan ini?

Jika kita menelaah penerapan sistem pendidikan dalam Islam, sungguh sangat berbanding terbalik dengan kondisi saat ini. Berawal dari paradigma mendasar bahwa pendidikan adalah salah satu hak warga negara yang harus dijamin oleh negara, maka negara Khilafah Islamiyah akan menjamin kebutuhan masyarakatnya.
Jaminan terhadap pemenuhan kebutuhan pendidikan bagi seluruh warga negara itu diwujudkan dengan cara menyediakan pendidikan gratis bagi rakyat, menyediakan fasilitas dan infrastruktur pendidikan yang cukup dan memadai seperti gedung-gedung sekolah, laboratorium, balai-balai penelitian, buku-buku pelajaran, dan lain sebagainya.

Baca juga  Mencintai Nabi Muhammad SAW

Negara Khilafah juga berkewajiban menyediakan tenaga-tenaga pengajar yang ahli di bidangnya, sekaligus memberikan gaji yang cukup bagi guru dan pegawai yang bekerja di kantor pendidikan. Semua guru yang melayani pendidikan di instansi negara berstatus sebagai Pegawai Negeri yang mendapatkan gaji dari baitulmal.

Seluruh pembiayaan pendidikan di dalam negara Khilafah diambil dari baitulmal, yakni dari pos fai’ dan kharaj serta pos milkiyyah ‘amah. Seluruh pemasukan Negara Khilafah, baik yang dimasukkan di dalam pos fai’ dan kharaj, serta pos milkiyyah ‘amah, boleh diambil untuk membiayai sektor pendidikan.

Jika pembiayaan dari dua pos tersebut mencukupi maka negara tidak akan menarik pungutan apa pun dari rakyat. Mekanisme inilah yang membuat negara Islam mampu mencukupi ketersediaan tenaga guru sekaligus menjamin kesejahteraan mereka sebagai abdi negara. Sehingga tidak perlu ada guru honorer, karena semua guru dijamin oleh negara.

Oleh karena itu, jika penghapusan guru honorer ini dalam rangka menjadikan semua guru honorer menjadi aparatur negara yang dijamin kesejahteraannya seperti dalam sistem Khilafah Islam, tentu tidak akan ada penolakan dari para guru. Namun jika mereka nantinya tersisih karena kuota ASN dan PPPK yang terbatas, inilah bukti nyata kezaliman penguasa sekuler terhadap para pahlawan tanpa tanda jasa.

  • Bagikan