
Oleh: Ummu Nasrullah Ramadhan
Diawal tahun ini, musibah banjir nyaris merata menimpa hampir seluruh wilayah jabodetabek, bahkan dibeberapa titik yang sebelumnya tidak terjangkau air, kini berimbas dan berdampak. Terjangan banjir yang muncul begitu tiba-tiba tidak membedakan strata, miskin, kaya, tua, muda, anak kecil, dewasa seolah menunjukkan ketidakberdayaan manusia ketika menghadapi ketentuan dari sang pencipta. Harta yang dikumpulkan selama bertahun-tahun, hilang dalam sekejap tersapu banjir.

Penyebab banjir yang berulang setiap tahun ini menimbulkan beberapa pendapat, wakil ketua komisi IV DPR RI Dedi Mulyadi menyatakan bahwa banjir yang terjadi disejumlah wilayah akibat penggundulan hutan, penyempitan dan pendangkalan sungai hingga pembangunan yang jor-joran (kompas. Com, 02/01/2020). Dedi menyebutkan banjir juga disebabkan oleh pembangunan properti yang jor-joran tanpa mengindahkan tanah rawa, sawah dan cekungan danau, semua dibabat dan diembat. Berangkat dari hal itu, dedi mengajak semua pihak memperbaiki kesalahan termasuk membenahi tata ruang dan bangunan.
Lain halnya menurut pendapat Menteri Pemukiman dan Perumahan Rakyat, Basuki Hadimuljono beliau mengatakan banjir dibeberapa wilayah jabodetabek bukanlah disebabkan oleh masifnya pembangunan infrastruktur yang tanpa mengindahkan lingkungan. Hal ini senada dengan pendapat Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan yang tidak mau menyalahkan pembangunan infrastruktur. (Viva News).
Bukan sekali dua kali bencana semacam ini terjadi di negeri ini. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sepanjang tahun 2019 setidaknya tercatat sebanyak 3.768 kejadian bencana alam di Indonesia. Diantaranya berupa gempa bumi, Gunung meletus, tsunami, banjir, longsor, kebakaran hutan, dll. Menurut BNPB, akibat bencana sepanjang 2019 ini, sebanyak 478 orang meninggal dunia, 109 orang hilang, 6,1 juta jiwa mengungsi dan 3.419 orang luka-luka. Selain itu, juga mengakibatkan 73.427 rumah rusak. Sedangkan fasilitas yang rusak sekitar 2.017, meliputi 1.121 sekolah, 684 rumah ibadah, 212 fasilitas kesehatan, 274 kantor dan 442 jembatan. (Katadata.co.id, 31/12/2019).
Jika didalami lebih jauh, banjir yang berulang setiap tahun jelas bukan sekedar faktor alam semata.Juga tidak hanya problem teknis (tidak berfungsi drainase, resapan air, kurang kanal, dsb) tetapi lebih dari itu, ada persoalan sistemik yang lahir dari berlakunya sistem kapitalistik, dimana tata kelola dan pembangunan infrastruktur diserahkan pada kemauan para kapitalis yang berorientasi memenangkan bisnis dan tidak memperhatikan lingkungan, sementara itu masih terjadi kemiskinan masal yang mempengaruhi pola kehidupan. Seperti pemukiman di sekitar kali, tidak bisa menjaga kebersihan lingkungan dan sebagainya.
Bisa dikatakan bahwa semua bencana yang terjadi akhir-akhir ini tak lepas dari akibat sejumlah pelanggaran yang dilakukan oleh manusia. Baik berupa tindakan merusak hutan, melakukan penambangan liar, mengabaikan amdal, dll. Dan ironisnya, justru pemerintah sendiri seolah memfasilitasi para pelaku pelanggaran tersebut. Misalnya, banjir yang melanda kawasan Jakarta, khususnya disebagian area tol Jakarta-Cikampek, menurut kemenhub, adalah proyek kereta cepat. Proyek tersebut telah menutupi sejumlah saluran air. Akibatnya, air meluap dan menimbulkan banjir. (Detik.com, 6/1/2020).
Adapun banjir dan longsor di Bogor, antara lain di Kecamatan Sukajaya, menurut Menteri Pekerjaan Ummu dan Perumahan Rakyat (PUPR), selain akibat curah hujan yang cukup lama, di atas perbukitan di sepanjang jalan maupun aliran sungai di daerah tersebut yang berupa batuan lempung dengan kemiringan 90 derajat sudah banyak dijadikan pemukiman. (liputan6.com, 5/1/2020).
Semua bencana ini telah disebutkan dalam al Qur’an sebagai akibat dari dosa dan kemaksiatan manusia. Sebagaimana firman-Nya:
“Telah nampak kerusakan di daratan dan lautan akibat perbuatan tangan (kemaksiatan) manusia supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian akibat (kemaksiatan) mereka itu agar mereka kembali (ke jalan-Nya).” (TQS. ar-Rum: 41).
Untuk itu, penyelesaian masalah banjir tidak cukup hanya perbaikan teknis, tetapi harus pula menyentuh perubahan sistemik karena perbaikan teknis seberapa pun tidak akan cukup jika persoalan sistemik ini berakar pada sebuah kebijakan ekonomi yang terlalu diserahkan kepada permainan pasar (kapitalis) padahal dalam hal perlindungan lingkungan, pasar sering gagal berfungsi karena nilai lingkungannya tidak mudah dikonversi ke nilai uang.
Walhasil, dengan musibah ini, manusia diharapkan kembali menyadari bahwa sebagai mahluk ciptaan dan hamba dari Al-khalik tidak selayaknya bermaksiat kepada-Nya, menyimpang atau menyalahi peringatan (wahyu)-Nya serta mendustakan dan mengabaikan hukum-hukum dan syariat-Nya akan tetapi dibalik musibah ini, harusnya menjadi sebuah pelajaran untuk meningkatkan keimanan dengan kembali kepada hukum-hukum Allah dan mencampakkan kapitalisme yang telah menyebabkan kerusakan dan bencana dalam kehidupan. Wallahu a’lam.