Kisruh Tuntutan Kenaikan Tunjangan BPD Akhirnya Terjawab

  • Bagikan

SULBAR99.COM-MAJENE, Sebelumnya, proses penyusunan rencana anggaran pendapatan dan belanja desa (RAPBDes) sudah rampung, namun ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sepakat tidak bersedia menandatangani pengesahannya. Alasannya mereka menuntut kejelasan besaran tunjangan yang minta dinaikkan.

Terkait hal itu, Komisi l DPRD kabupaten Majene, yang membidangi pemerintahan mengundang semua badan permusyawaratan desa dalam rapat dengar pendapat, Rabu(12/2/2020).

Ketua komisi l DPRD, Napirman, yang dihubungi membenarkan adanya persoalan tunjangan yang menjadi tuntutan BPD. Hal ini disebabkan belum adanya titik temu serta pemahaman berbeda dari regulasi yang ada.

Politisi PKB itu menjelaskan, dalam Permendagri Nomor 110 tahun 2016 tentang BPD menyebutkan, tunjangan BPD diatur lebih lanjut dalam peraturan Bupati nomor 2 tahun 2020 maka bunyi peraturan daerah juga begitu, nilai dari tunjangan BPD diatur dalam peraturan Bupati.

Adanya kesingkronan antara Permendagri Nomor 110 tahun 2016 dan peraturan pemerintah nomor11 tahun 2019 yang menyebutkan, pengalokasian untuk tunjangan BPD, termasuk penghasilan tetap pemerintah desa, juga operasional BPD. “Nah setelah kita melakukan perhitungan, diputuskan tunjangan BPD itu dinaikkan, yang penting tidak melebihi 30 persen dari total APBDes dan disesuaikan dengan anggaran desanya. Alhamdulillah ada yang naik sampai 90 persen,”jelas Napirman.

Dicontohkan, kesepakatan penyesuaian tunjangan diukur dari anggaran desa. “Di Majene inikan ada APBDes yang rendah, sedang ada juga tinggi, sehingga kita menyepakati tunjangan BPD itu di sesuaikan dengan anggaran desanya. Kalau anggaran di desanya tinggi, tunjangannya juga tinggi. kurang lebih kalau Ketua itu Rp 1,5 juta, kalau sedang Rp 1,3 juta, kalau rendah Rp 1 juta sedangkan selama ini ketua diratakan 800 ribu, “rinci Napirman.

Napirman menjelaskan, pengklasteran besaran tunjangan adalah solusi yang tepat agar nantinya tidak melampaui 30 persen dari total APBDes. “Kalau diratakan Rp 1,5 juta, maka akan ada desa yang melampaui dari 30 persen itu. Makanya kita carikan solusi di dalam rapat dan disepakati besaran tunjangan BPD harus diklasterkan. Kurang manusiawi kalau tunjangan BPD tidak dinaikan sedangkan kita tau mereka tidak punya siltap, makanya kita perjuangkan dinaikan,” jelas mantan aktivis HMI ini seraya berharap kedepannya, kinerja BPD bisa ditingkatkan.

Sementara itu, kepala desa Seppong, saat dimintai tanggapannya menyebutkan, tuntutan kenaikan tunjangan BPD masih merujuk pada peraturan daerah nomor 5 tahun 2015 yang tidak hirarki lagi yang di amanatkan Permendagri nomor 110 tahun 2016. Diantaranya disebutkan ketua BPD berhak mendapatkan 80 persen dari tujangan kepala desa, sementara peraturan Bupati nomor 5 tahun 2015 menjelaskan masalah penghasilan tetap.

“Ini yang bikin simpang siur karena adanya Permendagri yang baru tidak diikuti perda yang baru pula. Setahu saya sekarang tidak ada peraturan daerah yang mengatur tentang Permendagri itu, “jelasnya.

Dia menguraikan, besaran tunjangan ketua BPD dengan merujuk peraturan daerah nomor 5 tahun 2015 dengan asumsi penghasilan tetap kepala desa Rp 2,4 juta dipersentase 80 persen hasil besarannya, itulah tunjangan BPD. Sementara peraturan Bupati tidak mengatur penghasilan tetap, demikian juga Permendagri nomor 110 tahun 2016.

“Penghasilan tetap kepala desa Rp 2,4 juta sesuai yang diatur dalam peraturan pemerintah nomor 11, setara dengan 120 persen gaji pegawai. Itu siltap bukan tunjangan, sementara kalau berbicara Permendagri itukan tunjangan. Nah disitu perbedaannya sebenarnya, “jelasnya. (Satriawan)

  • Bagikan