
(OLEH: NURHAIIDA LATIF)
Kasus pelecehan, terhadap agama Islam bukan kali pertama terjadi khususnya pelecehan terhadap pakaian muslimah di negara kita yakni Indonesia padahal masyarakat kita adalah mayoritas muslim tapi itulah kenyataannya mungkin kita belum lupa dengan sederet pelecehan tersebut diantaranya adalah kasus sari konde yang dibandingkan dengan hijab, Pelarangan cadar dan promosi kebaya sebagai pakaian “asli” Indonesia.

Banyak sosok yang berani megklaim bahwa mereka lebih faham tentang syariat Islam sehingga pernyataan mereka justru mengada-ada dan bertentangan dengan syariat. Kita tahu bahwa sebagian diantara mereka adalah umat islam itu sendiri sehingga hati umat muslim sangat tersakiti karenanya.
Menurut ust. Felix Siauw dalam postingan instagram beliau @felix siauw: “Mereka selalu mengangkat narasi, bahwa ketaatan adalah bagian dari arabisasi, radikalisasi, intoleransi, narrow minded, dan kata-kata yang menghakimi lainnya. Mereka yang anti islamisasi bisa jadi justru orang islam itu sendiri lalu mengembangkan pernyataan sesat: seperti tafsir kontekstual, tafsir modern, atau perbedaan ulama”.
Menurut beliau“ulama tak pernah berbeda tentang wajibnya jilbab, walau mungkin berbeda pandangan tentang seperti apa bentuk hijab, seperti apa batasan detailnya mengingat istilah hijab salah dimengerti, yang makna aslinya sebagai pembatas juga akal-akalan saja. Istilah bisa bergeser maknanya, yang mereka tolak sebenarnya adalah syariatnya dan yang berhak menafsirkan alquran adalah mereka yang paling faham dengan alquran dialah rasulullah, yang mensupervisi para sahabat yang pada gilirannya mensupervisi tabi’in, yang mensupervisi tabi’ut tabi’in, merekalah yang paling faham al-quran sementara mereka semua berpendapat bahwa hijab itu wajib, kerudung dan jilbab itu adalah wajib sedangkan mereka bukan siapa-siapa yang berhak menyatakan sebaliknya, dan merasa lebih faham dari generasi terbaik islam” tambahnya.
KEWAJIBAN MENUTUP AURAT
Pakaian muslimah dalam kehidupan umum telah didesain langsung oleh Allah SWT. Dan dijelaskan oleh tiga ayat dalam dua surah yakni penutup kepala (khimar) ini dijelaskan dalam QS. An-Nisa ayat 31 dan pakaian penutup sekujur tubuh sampai kedua telapak kaki (jilbab) ini dijelaskan dalm surah Al-Ahzab ayat 59 yang artinya:
“ Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka : Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal karena itu mereka tidak diganggu. Dan allah maha pengampun dan maha penyayang”.
Didalam Al-Qamus Al-Muhith dikatakan: kata jilbab, seperti kata sirdab dan sinimmar maknanya adalah Al-Qamish, tsawb wasi’ dun[a] al milhafah (pakaian longgar mendekati Ukuran Al- Milhafah), dan berarti pula pakaian untuk menutup pakaian dari bagian atas, seperti Al- Milhafah (selimut). Atau, bisa juga berarti Al-Khimar (kerudung penutup kepala).
KHIMAR (Kerudung)
Pakaian berlaku umum bagi semua muslimah, termasuk istri-istri Rasulullah SAW. Alquran mengatakan dalam QS. An-Nur ayat 31: “ Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya “
Dalam satu riwayat Al Bukhari dari Aisyah Ra, berkata: Semoga Allah SWT merahmati kaum perempuan Muhajirin yang pertama. Ketika Allah SWT menurunkan firmanNya [Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya], maka kaum wanita itu merobek kain sarung mereka untuk dijadikan kerudung dan menutup kepala mereka dengannya.
PENUTUP TUBUH (Jilbab)
Seorang muslimah tidak boleh keluar dalam kehidupan umum, kecuali dengan menggunakan pakaian syar’i yang didalamnya terpenuhi tiga hal: menutup aurat, mengenakan jilbab dan kerudung, dan tidak bertabarruj.
Jilbab adalah pakaian longgar yang menutupi pakaian yang ada didalamnya dan diulurkan hingga menutupi kedua kaki, sebagaimana Firman Allah SWT. Dalam surah Al-Ahzab ayat 59 : “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka : Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal karena itu mereka tidak diganggu.Dan Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang”.
Demikian jelas bahwa seorang muslimah tidak boleh keluar dalam kehidupan umum (area publik), sementara dia mengenakan celana panjang dan diatasnya mengenakan jubah panjang hingga kedua lututnya saja, yakni tidak sampai pada kedua kedua kakinya yang tertutup dengan sepatu. Kenyataan seperti ini tidak memenuhi makna syar’I untuk jilbab. Apabila dia hendak keluar rumah, maka dia harus mengenakan khimar dan jilbab. Apabila dia hendak keluar rumah, maka dia harus mengenakan khimar dan jilbab , yang diulurkan ke bawah sampai kedua kakinya . ketika dia tidak mendapati jilbab, maka dia tidak boleh keluar. Dia bisa meminjam jilbab itu dari tetangganya. Diriwayatkan oleh muslim di dalam Shahih-Nya dari Ummu Athiyah, ia berkata: “Rasulullah saw memerintahkan kami agar kami keluar pada hari idul fitri dan idul adhha, perempuan yang dipingit , wanita yang sedang haid dan yang memiliki halangan (udzur). Adapun wanita haid maka ia memisahkan diri dari sholat dan menyaksikan kebaikan dan seruan terhadap kaum muslim.” Wahai rasulullah salah seorang dari kami tidak memiliki jilbab.“ beliau bersabda: “ hendaklah saudaranya meminjami jilbabnya”
KONTRIBUSI NEGARA
Pelecehan terhadap agama adalah tindakan kriminal yang pelakunya wajib mendapatkan hukuman namun sikap pemerintah terhadap kasus ini terlalu apatis mereka justru melindungi para pelakunya buktinya mereka hanya diminta meminta maaf atas perbuatan mereka tanpa ada rasa penyesalan dan selanjutnya mereka bebas melakukan hal yang sama maka karena dengan sebab inilah banyak bermunculan pelaku pelecahan agama tumbuh dengan subur disebabkan tidak adanya hukuman yang memberi efek jera bagi pelakunya. Sementara para pengembang dakwah islam yang kaffah termasuk mendakwahkan kewajiban berhijab syar’i dihalang-halangi, dipersekusi, dijuluki radikal, dituding membuat makar bahkan dianggap sebagai teroris.
Imam An-Nawawi berkata: “ para ulama sepakat bahwa barang siapa yang menghina Al-Quran atau menghina sesuatu dari al-quran atau menghina mushaf atau melemparkannya ke tempat kotoran, atau mendustakan suatu hokum atau berita yang dibawa alquran, atau menetapkan sesuatu yang telah dinafikan oleh al-quran, atau meragukan sesuatu dari yang demiakian itu, sedang dia mengetahuinya maka dia telah kafir” (Imam An-Nawawi, Al Majmu’, Juz II, hlm.170).
Sistem politik demokrasi membuat hukum syariat bisa dinilai dan didudukkan sesuai selera subyektif masing-masing orang dan sungguh ini kelancangan terhadap Allah Al Hakim yang menetapkan hukum syariat sebagai sumber konstitusi dan perundangan. Oleh karena itu kasus ini semestinya mendorong kita semakin gigih mengakhiri sistem demokrasi dan menegakkan sistem islam. Wallahu a’lam bishawab.