Demokrasi Anti Kritik

  • Bagikan

Oleh : Sami’na
(Mahasiswa)

Ujaran kebencian di media sosial berujung ke kasus hukum, tengah mendapat sorotan masyarakat. Kasus ini kuat hubungannya dengan melanggar UU Informasi dan transaksi elektronik. (Kompas.Com, 13 Oktober 2019).

Seorang PNS dari Balikpapan dicopot jabatannya hanya karena mengunggah konten yang dituding anti pancasila. Hal yang sama juga dialami tiga personal TNI yang mendapat sanksi hukum dan dicopot dari jabatannya.

Para anggota ini mendapatkan hukuman disiplin karena ulah istrinya yang mengunggah konten kemedia sosial terkait kasus penusukan MenkoPolhukam Wiranto. (kontan.co.id, 12 oktober 2019). Sementara ketiga istri mereka juga dilaporkan ke polisi karena dianggap melanggar UU nomor 19 tahun , 2016 tentang ITE.

Peneliti militer dari institute for security and strategic studres (ISESS), menilai penghukuman terhadap tiga personal TNI dinilai tergesa-gesa dan berlebihan. Apalagi jika dilihat, belum ada upaya hukum apapun kepada istrinya.

Marilah kita membuka mata bahwa inilah bukti keambiguan sistem demokrasi yang katanya menjunjung tinggi 4 kebebasan yakni kebebasan berpendepat, kebebasan beragama, kebebasan berpeirilaku dan kebebasan berkepemilikan tapi faktanya anti krirtik.

Melihat dari poin kebebasan berpendapat, ini berarti setiap orang bebas mengkrtik baik tulisan maupun lisan. Namun kritik yang seharusnya menjadi teguran untuk memperbaiki arah pemerintahan justru dianggap sebagai ancaman dan bahkan dianggap melanggar Undang-undang, serta dianggap mengganggu ketenangan dan kedamaian Negara, sehingga tidak jarang ketika ada orang yang mengungkapkan kritikannya kepada pemerintah baik secara tulisan maupun lisan di media sosial sering direspon dengan caci dan desakan agar kritikan mereka dihentikan dengan berbagi cara. Bisa melalui pencopotan jabatan, pelaporan, penangkapan, persekusi dll.

Keambiguan demokrasi membuktikan bahwa sistem ini terbukti rusak dari kelahirannya. Sistem ini sebagai alat penyiksaan bagi masyarakat atau tirani minoritas atas mayoritas. Mengapa demikian? Karena sebagai sistem buatan manusia, demokrasi melahirkan sistem aturan yang rentan konflik. Memenangkan satu pihak dan tidak mengakomodir keseluruhan aspirasi. Kebijakan yang lahir tidak mampu menyelesaikan masalah secara hakiki.

Ketika kelemahan itu nampak maka jalan terakhir untuk mempertahankan kursi adalah membungkam pihak manapun yang membuka aib kekurangannya yakni menghalangi masyarakat luas tahu bahwa ada kesalahan, kekurangan dan kelemahan. Penerapan sistem Demokrasi jelas menjadi penyebab segala permasalahan di negeri ini.

Berbeda dengan sistem islam yang sangat ramah kepada krirtikan. Rakyat siapapun dia, terbuka menyampaikan muhasbah/kritik sebagai contoh dalam pemerintahan islam mengoreksi penguasa yang lalai, salah dan keliru termasuk perkara bagian dari islam. Salah satu hadist yang mendorong untuk mengoreksi penguasa, menasehati mereka adalah sebagai berikut:

“sebaik-baik jihad adalah perkataan yang benar kepada pemimpin yang zalim.” (HR. Ahmad, ibn majah, abu dawud, al-nasa’I, al-hakim dan lainnya).

Ini hal yang mendasar yang membedakan antara sistem hidup yang dibangun atas asas demokrasi dan atas asas Islam. Demokrasi menjadikan manusia sebagai pembuat hukum. Sehingga benar/salah tidak baku, tetapi dikembalikan kepada pandangan individu tersebut. Melahirkan orang-orang anti kritik karena kritikan sering tidak sejalan dengan kepentingan individu atau kelompok.

Berbeda halnya dengan islam aktivitas mengkritik pada islam menjadi sesuatu yang diharapkan oleh penguasa. Hal ini disebabkan Karena penguasa memahami dia hanya manusia biasa yang berpotensi salah. Tapi kritikan harus berbasis pada standar yang sama, yakni aqidah dan hukum syara’.

Sebagai contoh bahwa islam memberikan kebebesan berpendapat dapat dilihat dari seorang khalifah umar bin khattab diprotes kaum hawa ketika umar berpidato terkait masalah menetepkan jumlah mahar.

“Wahai orang-orang janganlah kalian banyak-banyak memberikan mas kawin kepada istri. Karena mahar rasulullah saw dan para sahabatnya sebesar 400 dirham atau di bawah itu. Seandainya memperbanyak mahar bernilai takwa di sisi allah dan mulia, jangan melampaui mereka. Aku tak pernah melihat ada lelaki yang menyerahkan mahar melebihi 400 dirham,” kata Umar bin Khattab.

Usai berpidato, khalifah umar turun dari mimbar. Seorang wanita berdiri dan memprotes khalifa umar, Apakah kau tidak pernah dengar allah menurunkan ayat ( melafalkan ayat penggalan ayat 20 surah an-nisa).” Kata wanita itu. Khalifah umar menyambut kritikan itu dan kembali kemimbar untuk merususkan kekelirunnya dalam penyampaikan masalah mahar tersebut.

Demikianlah kebebasan yang sesungguhnya yang diberikan dalam sistem Islam terkait kritikan terhadap penguasa untuk perbaikan. Dan hal ini tidak akan kita temukan dalam sistem demokrasi yang bersifat utopis dan mengekang rakyat dalam mengoreksi penguasa. Dan untuk melahirkan pemimpin yang terbuka terhadap kritikan seperti umar bin khattab hanya bisa kita temukan dalam penerapan syariat islam secara kaffah. Wallahu a’lam bi ash showwab

  • Bagikan